Lompat ke konten

Metode dan Corak Tafsir “Tarjuman al-Mustafid” 

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah “Tafsir Nusantara”

Dosen Pengampu : Prof. Dr Mubasirun, M.Ag.

Disusun Oleh :

Achmad ichsan 53020210121

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA

Pendahuluan

Tarjuman al-Mustafid diasumsikan kuat sebagai tafsir pertama di Nusantara yang lengkap menafsirkan 30 juz al-Qur’an. Penulis tafsir ini merupakan seorang ulama besar Aceh, Syaikh ‘Abd al-Rauf bin ‘Ali al-Fanshuri al-Jawi. Tafsir Tarjuman al-Mustafid tersebar luas di Nusantara, bahkan hingga ke mancanegara seperti Afrika Selatan. Tafsir ini berkali-kali pula telah berhasil dicetak di Singapura, Penang, Jakarta, Bombay dan Timur Tengah. Fakta ini menunjukkan bahwa tafsir Melayu sangat diminati pembaca, salah satu penyebabnya tidak lain karena bahasa Melayu merupakan lingua franca khususnya di wilayah Asia Tenggara.

Pembahasan

Biografi

Tafsir Tarjuman al-Mustafid merupakan sebuah karya ulama Aceh yang bernama Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, ia lahir di Fansur pada tahun 1620 dan meninggal di Kuala tahun 1693 M. Ia merupakan seorang Melayu dari Fansur, Singkil (Singkel) di wilayah pantai Barat Laut, Aceh.1 Sebab itu pula kadang kala namanya ditambahkan ‘al-Singkili’ untuk menunjukkan bahwa ia berasal dari Singkel. Ia berasal dari keluarga religius, ayah nya Syekh Ali al-Fanshuri merupakan ulama yang terkenal, membangun dan memimpin dayah (sebuah institusi seperti pondok pesantren di Pulau Jawa) Simpang Kanan di pedalaman Singkel.2

‘Abd al-Rauf pernah menuntut ilmu ke Makkah selama kurang lebih 19 tahun dan kembali pada tahun 1661 M, untuk mengajarkan ilmunya kepada masyarakat di Melayu, Aceh.3 Peter Riddell juga berpendapat serupa dengan kedua temannya sesama sarjana Barat, bahwa ‘Abd al-Rauf dilahirkan di Singkel, sekarang berada di bagian selatan Aceh. Selama 19 tahun ia mempelajari berbagai bidang spesialisasi ilmu keislaman di Timur Tengah, dan diperkirakan sekitar rentang tahun 1640-an hingga 1650-an kemudian kembali lagi ke Aceh sekitar tahun 1661 M. Dengan memperhatikan data ini dapat ditarik benang merah bahwa ‘Abd al-Rauf lahir di daerah Singkel, Aceh bagian Selatan, pada rentang tahun 1593-1615-an atau pada akhir abad 16 dan awal abad 17 M. Penulis lebih sepakat dengan pendapat sarjana Barat, dan tahun 1615 M/1024 H yang akan dijadikan acuan dalam tulisan ini. Ia berangkat untuk menuntut ilmu tafsir, hukum dan ilmu keislaman lainnya di Timur Tengah selama kurang lebih 19 tahun dimulai dari sekitar tahun 1640-an dan 1650-an hingga kembali lagi ke Melayu (Aceh) untuk mengabdikan diri sebagai pengajar pada tahun 1661 M. Jika kepulangannya ke Aceh tahun 1661 M dikurangi 19 tahun, maka hasilnya keberangkatannya adalah sekitar tahun 1642 M. Ia wafat pada tahun 1693 M, artinya ia berkiprah di A ko koceh selama kurang lebih 30-an tahun.

1 Oman Faturahman, Tanbih al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17 (Bandung: Mizan, 1999), h. 25

2 Harun Nasution, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Vol. I (Jakarta: Abdi Utama, 1992), h. 55

3 A. H. Johns, “Daka’ik al-Huruf by Abd al-Ra’uf Singkel,” dalam The Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, No. 1/2, 1955, h. 5

Pada mulanya ‘Abd al-Rauf belajar pada ayahnya dan ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh4. Setelah selesai menuntut ilmu di Aceh, ‘Abd al-Rauf merantau untuk belajar di Timur Tengah, meliputi Doha, Qatar, Yaman, Jeddah dan akhirnya ke Makkah sambil menunaikan ibadah haji dan ke Madinah, memakan waktu selama 19 tahun. Menurut catatan ‘Abd al-Rauf sendiri yang ditulis dalam Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin, ia belajar langsung kepada 19 orang guru tentang bermacam disiplin ilmu.5 Bahkan ‘Abd al-Rauf sendiri pernah belajar langsung pada Ahmad Qusyasyi (w. 1661 M) dan muridnya Ibrahim al-Kurani (w. 1690 M).6

Sebelum meninggal dunia, ‘Abd al-Rauf telah menulis sejumlah karya tulis, namun jumlahnya tidak dapat dipastikan dengan tepat. Azyumardi Azra mengutip pendapat Voorhoeve dan Hasjimi, mengatakan jumlah karyanya sebanyak 22 buah.7 Tetapi Oman Faturrahman menyebutkan bahwa karyanya tidak kurang dari 36 buah, meliputi berbagai bidang ilmu keislaman, terutama tafsir, hadis, tasawuf, dan fikih.

Karya lain dari ‘Abd al-Rauf ini antara lain :

1).     Tanbih al-Mâsyî al-Mansûb ila Tarîq al-Qusyâsyi; 2).‘Umdah al-Muhtâjîn ilâ Sulûk Maslak al-Mufarridîn; 3). Sullam al-Mustafidin; 4). Piagam Tentang Dzikir; 5). Kifâyah al-Muhtajîn ilâ Masyrab alMuwahhidîn al-Qâ’ilîn bi Wahdah al-Wujûd; 6). Bayân Aghmadh al-Masâ’il wa al-Shifât alWâjibah li Rabb al-Ardh wa al-Samâwât; 7). Bayân Tajallî; 8). Daqâ’iq al-Hurûf; 9). Risâlah Âdâb Murid Akan Syeikh; 10) Munyah al-I‘tiqâd; 11) Bayan al-Ithlâq; 12) Risâlah A‘yân Tsâbitah; 13) Risâlah Jalan Ma‘rifatullâh; 14) Risâlah Mukhtasarah fî Bayân Syurûth al Syaikh wa al-Murîd; 15) Faidah yang Tersebut di Dalamnya Kaifiyat Mengucap Dzikir Lâ ilâha illâ Allâh; 16) Syair Ma‘rifah; 17) Otak Ilmu Tasawuf; 18) ‘Umdah al-Anshab; 19) Îdhâh al-Bayân fi Tahqîq Masâ’il al-Adyân; 20) Ta‘id al-Bayân Hâsyiyah Îdhâh al-Bayân; 21) Lubb al-Kasyf wa al-Bayân li Mâ Yarâhu al-Muhtadzar bi al-‘Iyan; 22) Risâlah Simpan; dan 23) Syatariyyah.8

Sumber Penafsiran

Terdapat 2 pendapat tentang sumber rujukan penafsiran Tarjumân Al-Mustafîd ini. Pertama, pendapat Snouck Hurgronje yang diamini oleh Rinkes dan Voorhoeve, menyebutkan bahwa Tarjumân al-Mustafîd merupakan terjemahan dari tafsir al-Baidhâwî. Kemungkinan besar pendapat ini terpengaruh oleh judul yang tertera pada cover kitab, yakni ‘Tarjumân al-Mustafîd wa huwa al-Tarjamat al-Jawiyah li al-Tafsîr al-Yusamma Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl li al-Imâm al-Qâdhi Nashr al-Dîn Abi Sa‘id ‘Abdullâh ibn ‘Umar  ibn  Muhammad  al-Syairâzî  al-Baidhawi’  (tafsir Tarjumân al-Mustafîd adalah

4 Dicky Wirianto, “Meretas Konsep Tasawuf Syeikh Abdurrauf Singkili,” dalam Islamic Movement Journal, Vol. 1, No. 1, 2013, h. 105.

5 M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik (Yogyakarta: Ceninnets Press, 2004), h. 29-30.

6 Ibid., h. 30.

7 Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, h. 245

8 Faturahman, Tanbih al-Masyi, h. 28-30; Mukhtar dan Ibrahim, “Ikhtilaf Qira’at Kitab,” h. 112-113.

terjemahan berbahasa Jawi dari tafsir yang dinamakan Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl karangan al-Baidhâwî). Meskipun pada akhirnya, Voorhoeve mengubah kesimpulannya dengan mengatakan bahwa sumber-sumber Tarjumân al-Mustafîd adalah berbagai tafsir berbahasa Arab.9 Kedua, pendapat Peter Riddell dan Salman Harun, mereka menyatakan bahwa tafsir Tarjumân al-Mustafîd merupakan terjemahan dari tafsir al-Jalâlain. Alasan ini berdasarkan penelitian terhadap metode dan gaya penafsiran yang sama persis dengan tafsir al-Jalâlain. Namun, ‘Abd al-Rauf memperlihatkan kreativitasnya dengan menambahkan dan mengurangi bagian-bagian tertentu dari tafsir al-Jalâlain. Hanya bagian tertentu saja ‘Abd al-Rauf memanfaatkan tafsir al-Baidhâwî dan al-Khâzin.10 Misalnya menambah penjelasan tentang perbedaan qiraah dan pembahasan kisah-kisah dan sebab turunnya ayat. Sedangkan yang dikurangi adalah tidak memasukkan penjelasan tentang i‘rab dan analisis semantik. Azyumardi Azra, memilih pendapat yang kedua ini dengan alasan bahwa silsilah intlektual ‘Abd al-Rauf memiliki keterhubungan dengan Jalâl al-Dîn alSuyuthî pengarang tafsir Jalâlain, baik melalui al-Qusyasyi maupun al-Kurani, sehingga besar kemungkinan ‘Abd al-Rauf lebih merujuk kepada tafsir Jalâlain ketimbang tafsir lainnya.11

Perbedaan pendapat para ahli ini bukan tanpa alasan, karena memang bukti tertulis pada judul kitab ‘Abd al-Rauf sendiri telah menyebutkan bahwa tafsir ini merupakan terjemahan dari tafsir Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl karya al-Baidhâwî, walaupun sering kali tafsir ini kebanyakan hanya menjadi penjelas tentang keutamaan suatu surah. Di sisi lain, dalam praktiknya penafsiran beliau lebih banyak memiliki kemiripan dengan pola-pola dan penafsiran seperti yang terdapat pada tafsir al-Jalâlain,akan tetapi ‘Abd al-Rauf tidak menegaskan hal tersebut secara jelas.12

Terdapat beberapa kitab tafsir yang dirujuk oleh ‘Abd al-Rauf ketika menafsirkan surah al-Fâtihah dan surah al-Baqarah dalam Tarjumân al-Mustafîd.

●                   Pertama, Tafsîr Baidhâwî. ‘Abd al-Rauf sangat jelas menjadikan kitab tafsir Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl karya al-Baidhâwî (w. 685 H./1286 M.) atau dipopuler dengan nama Tafsîr al-Baidhâwî sebagai sumber rujukan penulisan tafsir, sebagaimana tertera dicover tafsir ini.

●                   Kedua, Manâfi‘ al-Qur’ân. Kitab ini hanya dikutip untuk menerangkan tentang keutamaan suatu surah dari al-Qur’an, kitab ini dirujuk ‘Abd al-Rauf ketika menjelaskan keutamaan surah al-Fâtihah dan al-Baqarah.13

●                   Ketiga, Tafsir al-Khâzin. Tafsir al-Khâzin sejauh ini merupakan kitab tafsir yang paling banyak dikutip oleh ‘Abd al-Rauf, terbukti ketika menafsirkan surah al-Fâtihah dan alBaqarah saja ditemukan setidaknya 21 kali pengutipan.14

●                   Keempat, Tafsir Tsa‘labi. Tafsir al-Tsa’labi dikutip sebanyak dua kali, yakni ketika ‘Abd al-Rauf menafsirkan surah al-Baqarah ayat 84 halaman 14, dan ayat 102 pada halaman 17. ‘Abd al-Rauf mengutip penjelasan tentang apa kalimat sihr yang

9 Afriadi Putra, “Khazanah Tafsir Melayu,” h. 83-84.

10 Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, h. 248.

11 Putra, “Khazanah Tafsir Melayu,” h. 83-84.

12 Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah,” h. 249.

13 Al-Fanshuri, Turjumân al-Murstafîd, h. 2

14 Ibid., h. 9.

diajarkan oleh setan pada masa Nabi Sulaiman, “[dan adapun] yang dibacakan oleh segala setan pada masa itu tersebut di dalam Tafsir Tsa‘labi bahwa adalah segala setan itu…”.15

●                   Kelima, Tafsîr Jalâlain. Tafsir Jalâlain adalah tafsir yang penyebarannya hampir merata di seluruh kepulauan Nusantara, bahkan sejak abad ke-16 dan sebelum tafsirTarjumân al-Mustafîd ditulis, dan tidak heran jika tafsir ini menjadi rujukan ‘Abd al-Rauf dalam menafsirkan al-Qur’an.16

Pemaparan di atas menujukkan dan membuktikan bahwa Tarjumân al-Mustafîd bukanlah terjemahan dari Tafsîr al-Baidhâwî sebagaimana anggapan Snouck Hurgonje, Rinkes dan Voorhoeve. Begitu pula dengan pendapat Peter Riddel, Salman Harun dan Azyumardi Azra yang lebih yakin jika tafsir ini lebih mirip dan bersumber dari tafsir Jalâlain karya Jalâl al-Dîn al-Mahalli dan Jalâl al-Dîn al-Suyûthî. Karena beberapa temuan berikut menyangkal kedua pendapat di atas, yakni ‘Abd al-Rauf secara jelas mengatakan: ‘tersebut di dalam Baidhâwî..’, dan di lain tempat beliau juga menyebutkan “tersebut di dalam tafsîr Jalâlain…,”.

Metode Penafsiran

Tafsir Tarjuman al-Mustafid merupakan tafsir Nusantara yang lengkap, berbahasamelayu dan dikenal sebagai tafsir pertama terlengkap di Nusantara. Secara garis besar penafsiran al-Qur’an dilakukan melalui empat cara atau metode yaitu metode ijmali (global), metode tahlili (analitis), metode muqarin (perbandingan), dan metode maudhû‘î (tematik).Jika diperhatikan –walaupun hanya sepintas lalutafsir Tarjumân al-Mustafîd terlihat lebih ringkas bahkan hanya dua jilid saja, lebih padat dan tidak bertele-tele dengan menguraikan penafsiran secara panjang lebar. Hal serupa juga telah dipraktikkan oleh al-Mahallî dan al-Suyûthî dalam karyanya tafsir al-Jalâlain dan begitu pula dengan tafsir Tâj al-Tafâsir karya al-Mirghani. Inilah yang disebut dengan tafsir yang menggunakan metode ijmali, konon metode ijmali merupakan metode tertua dalam penulisan tafsir al-Qur’an.

Al-Farmawi menjelaskan tafsir ijmali adalah suatu metode penafsiran al-Qur’an yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Dalam kontekssistematika uraian, mufasir membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunannya yang ada dalam mushaf, lalu mengemukakan makna global yang dimaksud dalam teks ayat. Meskipun Tarjumân al-Mustafîd ditulis secara global, tetapi tafsirnya ini sangat kaya dengan berbagai pelengkap penafsiran seperti aspek qiraah terutama mengutip pendapat tiga imam qiraah: qiraah Abu ‘Amr riwayat Duri, qiraah Nafi‘ riwayat Qalun, dan qiraah imam Hafsh. Dilengkapi pula dengan berbagai penafsiran para ulama dari berbagai kitab tafsir seperti tafsir al-Baidhâwî, tafsir al-Khâzin, tafsir Jalâlain, dan tafsir Tsa‘labi. Selain itu juga dinukil riwayat-riwayat asbâb al-nuzûl dan kisah-kisah umatumat terdahulu. Hal ini disebabkan karena ‘Abd al-Rauf adalah seorang yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang keilmuan Islam, dengan berkat keluasan ilmu yang dimilikinya tidak aneh jika nuansa penafsiran yang

15 Ibid., h. 8

16 Ibid., h. 17

diberikan bersifat umum, walaupun ‘Abd al-Rauf juga terkenal sebagai penyebar dan mursyid tarekat Syattariyah, namun nuansa penafsiran yang diberikan tidak terpengaruh pada satu bidang tertentu.

Dengan membaca tafsir ini dengan berbagai sajian pendekatan mengisyaratkan bahwa ‘Abd al-Rauf merupakan seorang pakar dalam berbagai studi keislaman. Tetapi ada yang mengherankan, di balik kepakarannya di bidang tasawuf bahkan sebagai mursyid tarekat, sependek penelusuran penulis, beliau tidak ada menyinggung tentang persoalan tasawuf dan tarekat di dalam tafsirnya. Sebab itu, tidak tepat, jika ada orang yang mengatakan bahwa tafsir ini merupakan tafsir sufi. Untuk menjelaskan bagaimana cara kerja atau langkah-langkah penafsiran yang disuguhkan oleh ‘Abd al-Rauf dalam Tarjumân al-Mustafîd, setidaknya ada tiga komponen besar yang layak untuk dibahas, sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini.

●                   Pertama, menyebutkan jumlah ayat dan periode nuzûl-nya. Sebelum menafsirkan ayat-ayat al Qur’an, ‘Abd al-Rauf terlebih dahulu menyebutkan tentang jumlah ayat dalam satu surah yang akan dibahas, begitu pula dengan periode turunnya surah tersebut, apakah tergolong surah Makiyah ataukah tergolong surah Madaniyah. Penjelasan tentang ini terlebih dahulu diawali dalam bahasa Arab baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan diletakkan pada paragraf yang sama dengan penjelasan tentang keutamaan surah. Berikut merupakan contoh ketika ‘Abd al-Rauf menyebutkan jumlah ayat dan tempat turunnya surah al-Fâtihah: “Surah Fâtihah al-kitâb makkiyah, wahiya sab‘u ayât, ini surah al-Fâtihah yaitu tujuh ayat yang dibangsakan ia kepada Makkah yakni yang turun di Makkah”. 17

●                   Kedua, penjelasan keutamaan surah. Pada paragraf yang sama dengan penyebutan jumlah ayat dan periode turunnya, ‘Abd al-Rauf merasa penting untuk menyebutkan keutamaan suatu surah yang akan ditafsirkan. Hal ini bertujuan untuk menarik minat baca masyarakat, masyarakat akan lebih tertarik untuk membaca dan/atau menuliskannya pada tempat tertentu untuk mendapatkan khasiatnya, tampaknya hal ini tidak jauh-jauh dari praktik azimat atau sebagainya. Untuk menjelaskan keutamaan surah ini, ‘Abd al-Rauf biasanya menukil tafsir al-Baidhâwî dan kitab Manâfi‘ al-Qur’ân, sebagaimana contoh berikut, “‘maka tersebut di dalam Baidhâwî bahwa Fâtihah itu penawar bagi tiap tiap penyakit dan tersebut di dalam Manâfi‘ al-Qur’an barangsiapa membaca dia adalah baginya daripada pahalanya yang tiada dapat menggandakan dia kitab dan memberi manfaat akan berbaik-baik orang dan perkasih, wallahu a’lam’.18

●                   Ketiga, menggunakan kata-kunci. Tercatat setidaknya ada tujuh kata-kunci yang digunakan ‘Abd al-Rauf dalam penafsiran surah al-Fâtihah dan al-Baqarah, yaitu fâ’idah, qishah, kata mufassir, tanbih, adapun atau dan adapun, bermula dan ya‘ni. Di bawah ini beberapa kata-kunci tersebut akan dijelaskan satu persatu.19

17 Hujair A.H Sanaky, “Metode Tafsir: Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassiran,” dalam al-Mawarid: Jurnal Hukum Islam, Vol. 18, 2008, h. 268.

18 ‘Abd al-Hay al-Farmawi, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhu’i (Kairo: Hadharah al-‘Arabiyah, 1977), h. 67.

19 Mukti Ali, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Depag R.I., 1992/1993), h. 26

Corak Penafsiran

Abdurrauf As-Singkili dalam menjelaskan ayat-ayat Alquran tidak terpaku hanya pada satu corak penafsiran.Abdurrauf menggunakan corak umum.Artinya, penafsiran yang diberikan tidak mengacu pada satu corak tertentu, seperti fiqih, filsafat, dan adabbil-ijtima’i.Namun tafsirnya mencakup berbagai corak sesuai dengan kandungan ayat yang ditafsirkan. Jika sampai pada ayat yang membicarakan hukum fiqih, beliau akan mengungkapkan hukum-hukum fiqih, dan jika sampai pada ayat tentang teologi,pembahasan keyakinan tentang akidah mendapat porsi yang cukup.dan jika sampai pada ayat yang menyebutkan tentang qishash, beliau akan membahasnya dengan porsi yang cukup pula.Hal ini disebabkan Abdurrauf adalah seorang yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang baik ilmu fikih, filsafat, Mantiq, tauhid, sejarah, ilmu falak dan politik. Dengan keluasan ilmu dimilikinya tidak aneh jika corak penafsiran yang diberikan bersifat umum, walaupun Abdurrauf juga terkenal sebagai penyebar dan mursyid tarekat syattariah namun corak penafsiran yang diberikan tidak terpengaruh pada satu bidang tertentu.20 Hal ini dapat dilihat dari contoh penafsirannya dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabih yaitu:

1.      Pada memaknai makna asli tasybih misalnya pada makna “tangan Allah diatas tangan mereka” (QS al-Fath ayat 10) “dan Tangan Allah tergenggam dari pada melimpahkan rizki atas kita “(QS. Al-Maidah ayat 10).

Pada kasus lain memberi tafsiran terhadap kata-kata tersebut Seperti; “Telah suci daripada segala sifat muhdas Tuhan yang Pada tasharrufnya jua sultan dan kuadrat dania itu atas tiap-tiap Suatu amat kuasa” (QS al-Mulk ayat 1).

2.      Menggabungkan antara terjemahan harfiyah dengan takwil seperti dalam menjelaskan ayat 88 surat al-Mukminun yaitu kata olehmu siapa jua yang padatangan kodratnya milik tiap-tiap suatu. Dalam surat lain juga dijelaskan “ Maha suci Tuhan yang pada tangan kodratnya juga memiliki tiap-tiap suatu dan padanya jua ditolakkan sekalian itu”.21

Contoh Kitab Tafsir Tarjuman al-Mustahfid

20 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indon esia (Solo: Tiga Serangkai, 2003), hlm. 68

21 H.A. Mukti Ali, Ensiklopedi Islam,( Jakarta: Depag R.I.1992/1993), hlm. 26.

Penutup

Kesimpulan

Kitab Tafsir Tarjuman al-Mustafid merupakan buah karya dari Abdurrauf as-Singkili. Tafsir tersebut dikenal sebagai tafsir terlengkap yang berbahasa arab melayu. Tafsir tersebut mendapat kontroversial mengenai sumber penulisannya yaitu ada pandangan mengatakan sebagai terjemahan dari kitab Baidhawi dan ada pandangan dari kitab Jalalain.Kitab tersebut memiliki karakteristik tersendiri sebagai kitab kitab yang lain. Dari segi metode penulisannya, tafsirnya ada dua metode yang diterapkan yaitu ijmali dan tahlili.Teknik penulisannya adalah setiap memulai menjelaskan suatu surat, Abdurrauf selalu memulainya dengan menulis Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim. Kemudian selain memperkenalkan nama surat, tempat turun, jumlah ayat, dalam menghubungkan dengan qisah-qisah yang lain Abdurrauf menulis kata-kata Qisas diantara dua kurung, demikian juga dengan kata bayan dan Faidah ketika menjelaskan uraian bacaan para imam Qiraat.

Daftar Pustaka

A. H. Johns, “Daka’ik al-Huruf by Abd al-Ra’uf Singkel,” dalam The Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, No. 1/2, 1955, h. 5

‘Abd al-Hay al-Farmawi, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhu’i (Kairo: Hadharah al-‘Arabiyah, 1977), h. 67.

Afriadi Putra, “Khazanah Tafsir Melayu,” h. 83-84. Al-Fanshuri, Turjumân al-Murstafîd, h. 2

Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, h. 245

Dicky Wirianto, “Meretas Konsep Tasawuf Syeikh Abdurrauf Singkili,” dalam Islamic Movement Journal, Vol. 1, No. 1, 2013, h. 105.

Faturahman, Tanbih al-Masyi, h. 28-30; Mukhtar dan Ibrahim, “Ikhtilaf Qira’at Kitab,” h. 112-113

H.A. Mukti Ali, Ensiklopedi Islam,( Jakarta: Depag R.I.1992/1993), hlm. 26.

Harun Nasution, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Vol. I (Jakarta: Abdi Utama, 1992), h. 55

Hujair A.H Sanaky, “Metode Tafsir: Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassiran,” dalam al-Mawarid: Jurnal Hukum Islam, Vol. 18, 2008, h. 268.

M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik (Yogyakarta: Ceninnets Press, 2004), h. 29-30.

Mukti Ali, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Depag R.I., 1992/1993), h. 26

Oman Faturahman, Tanbih al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17 (Bandung: Mizan, 1999), h. 25

Putra, “Khazanah Tafsir Melayu,” h. 83-84.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *