Pendahuluan
Kyai merupakan sentral utama dalam tatanan lembaga pondok pesantren atau asrama. Dalam kaca mata masyarakat pondok pesantren merupakan tempat untuk mendidik anak berperilaku baik, memahami ajaran agama, dan membangun kemandirian. Berkembangnya pondok pesantren yang semakin luas membuktikan kekayaan warisan budaya Islam di Indonesia yang turun menurun ada sejak zaman dahulu hingga sekarang. Tidak sedikit pendidikan di pondok pesantren memiliki kontribusi yang sekaligus memfasilitasi potensi dan kebutuhan santri dengan membuka kursus ketrampilan. Hal ini menjadi harapan masyarakat untuk mengantarkan anak-anaknya belajar di pondok pesantren.
Dewasa ini, pondok pesantren mengalami transformasi dalam mengikuti perkembangan zaman. Pondok pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu umum atau bisa disebut sebagai pondok modern. Terdapat perbedaan antara pondok salaf dengan modern, yaitu pondok salaf mengajarkan ilmu-ilmu agama secara murni. Sedangkan, pondok modern lebih menonjolkan pada sistem kurikulum yang mencoba mengitregrasikan ilmu umum dan ilmu agama.[1]
Adanya keterbelakangan sosial dan kultur yang berbeda, hal tersebut dapat mempengaruhi segala aktvitas kehidupan santri di pondok pesantren. Perbedaan ini menjadikan rentan terhadap konflik antar santri. Konflik tidak terbatas dari santri saja, dapat pula terjadi pada semua pihak baik dari dalam maupun dari luar pondok pesantren meliputi kyai, ustadz, wali santri, masyarakat dan pihak-pihak terkait. Konflik merupakan bagian dari kehidupan yang tidak menutup kemungkinan terjadi kepada siapapun di manapun terutama pada pondok pesantren. Sebagai akibat yang timbul dalam proses interaksi sosial menjadi sesuatu yang wajar.
Secara historis awal konflik antar manusia sudah ada sejak zaman anak cucu Nabi Adam, kisah Qabil dan Habil yang saling bertengkar merebutkan calon istri, karena hawa nafsu dunia semata mereka merasa diperlakukan tidak adil maka terbesit bisikan setan untuk saling membenuh. Kisah itu tercantum dalam QS. Al-Maidah ayat 30 sebagai berikut:
فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
Artinya: Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. (QS. Al-Maidah: 30).
Berkaitan dengan hal itu, bahwa konflik dapat terjadi selama manusia hidup berdampingan dengan masyarakat hanya akan berakhir sampai masa hidup habis.. Dapat kita ketahui, adanya konflik perlu penanganan secara individual maupun secara kolektif.[2]
Kebanyakan santri di pondok pesantren adalah anak-anak remaja, remaja yaitu masa transisi yang dapat terlihat dari perubahan fisik, emosi, dan psikis. Masa remaja dimulai dari usia 10 sampai dengan usia 19 tahun. Pada usia ini sistem reproduksi sedang pada tahap pematangan yang biasa disebut dengan masa pubertas. Masa remaja dibagi menjadi dua yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal menurut Hurlock dimulai pada usia 13 sampai 17, sedangkan masa remaja akhir sampai usia 21 tahun. Masa remaja dikatakan rentan terhadap pergaulan, karena perubahan pada anak remaja yang signifikan terhadap emosial atau psikis yang belum dapat stabil atau dalam segi intelektual dan sosial.
Pada masa remaja kehidupannya seperti perjalanan batin hendak mencari sesuatu yang ia cari, yaitu kepuasan dan kententaman batin. Selama perjalanan ini remaja mengalami rasa ambisi yang tinggi, ia akan melakukan tindakan atau coba-coba. Hal tersebut sangat dikhawatirkan kedepannya, maka perlu adanya arahan dan bimbingan. Adapun pengaruh negatif seperti tindakan berpacaran. Perilaku berpacaran diera globalisasi kini terus mengalami peningkatan seiring kemajuan IPTEK. Misalnya, media sosial yang memudahkan interaksi antara lawan jenis.
Pacaran merupakan proses interaksi dua orang lawan jenis yang saling bertemu dengan melakukan kegiatan didalamnya untuk saling mengenal satu sama lain. Istilah pacaran sering dikaitkan dengan agama, didalam Al-Qur’an berpacaran tidak dijelaskan secara spesifik, akan tetapi Al-Qur’an menjelaskan larangan untuk mendekati perzinaan. Sebagaimana QS. Al-Isra’ ayat 32.
وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu sesuatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’: 32.)
Dalam agama Islam pacaran menimbulkan persengketaan hubungan antara akal, perasaan cinta dan hawa nafsu. Hal tersebut selalu berebut untuk menguasai untuk menaruh rasa di hati seseorang. Islam sendiri melarang perilaku berpacaran, karena kegiatan tersebut yang dilakukan oleh lawan jenis menimbulkan hawa nafsu. Kemudian timbulnya hawa nafsu ini seperti rasa ingin bersentuhan, bericiuman, memperlihatkan aurat, hingga hal-hal yang dilarang oleh agama Islam yang berakibat buruk kepada sesorang yang berpacaran.
Berangkat dari fenomena pacaran di pondok pesantren, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang “Upaya Kyai Mengatasi Santri Pacaran di Pondok Pesantren Islam al-Iman”. Di pondok pesantren, santri yang pacaran masih meimbulkan kontroversial. Santri dengan basiknya memahami ilmu-ilmu agama. Namun, berkembangan zaman dan kemajuan teknologi tidak membatasi santri akan terpengaruh dengan perilaku pacaran.[3]
A. Fenomena Pacaran di Pondok pesantren.
Fenomena pacaran dikalangan anak muda maupun mahasiswa-mahasiswi umumnya banyak ditemui dan menjadi suatu hal yang wajar saat ini, tak terkecuali pada santriwan-santriwati di pondok pesantren. Pondok pesantren memandang perilaku pacaran sebagai suatu perilaku menyimpang dan tidak sesuai dengan ajaran di pondok pesantren karena dalam agama Islam tidak mengenal istilah ‘pacaran’. istilah pacaran sebenarnya tidak dikenal dalam Islam. Untuk istilah percintaan antara laki-laki dan perempuan pranikah, Islam mengenalkan istilah ‘ta’aruf’’ atau berkenalan kemudian ‘khitbah’ yang berarti meminang. Ketika seorang laki-laki menyukai seorang perempuan maka ia harus mengkhitbahnya dengan maksud akan menikahinya pada waktu dekat. Ada perbedaan antara pacaran dan khitbah. Pacaran belum tentu berkaitan dengan perencanaan pernikahan, sedangkan khitbah merupakan tahapan menuju pernikahan, yang sebelumnya ta’aruf atau berkenalan antara laki-laki dan perempuan.
Islam juga tidak melarang seseorang mencintai sesuatu, tetapi untuk tingkatan ini harus ada batasnya. Jika rasa cinta ini membawa seseorang kepada perbuatan yang melanggar syariat, berarti sudah terjerumus ke dalam larangan. Rasa cinta tadi bukan lagi dibolehkan, tetapi sudah dilarang. Perasaan cinta itu timbul karena memang dari segi zatnya atau bentuknya secara manusiawi wajar untuk dicintai. Perasaan ini adalah perasaan normal, dan setiap manusia yang normal memiliki perasaan ini. Jika memandang sesuatu yang indah, kita akan mengatakan bahwa itu memang indah. Sedangkan cinta yang melewati batas ketertarikan dan kecintaan, maka ia akan menguasai akal dan membelokkan pemiliknya kepada perkara yang tidak sesuai dengan hikmah yang sesungguhnya, hal seperti inilah yang tercela.
Gaya berpacaran remaja sekarang yaitu gaya berpacaran yang sudah mengarah pada perilaku seksual mulai dari berpegangan tangan, cium pipi, cium bibir, berpelukan, meraba bagian tubuh yang sensitif bahkan sampai berhubungan kelamin. Penyebabnya yaitu sangat kompleks mulai dari perkembangan ke arah yang lebih dewasa yang mulai tertarik pada lawan jenis juga merupakan produk sampingan dari sistem sosial yang melingkupinya seperti karena pengaruh lingkungan keluarga, pergaulan sekolah maupun masyarakat sekitar.
Sosialisasi sudah pastinya dilakukan di pondok pesantren yang menilai pacaran sebagai perilaku yang mengarah pada perilaku menyimpang. Adanya aturan-aturan pondok pesantren yang di buat oleh pengasuh maupun pengurus untuk meminimalisir dampak perilaku pacaran seperti pada Pondok Pesantren Islam Al- Iman Muntilan yang terdapat aturan-aturan atau batasan dalam berhubungan selain dengan muhrimnya. Seperti dilarang berboncengan, saling berpandangan, saling bertemu secara pribadi, berdua-duaan selain dengan muhrimnya, dan hal-hal yang bisa mengarah pada zina serta menimbulkan fitnah.
Akan tetapi tidak semua santri mau patuh terhadap semua aturan tersebut, terutama larangan untuk berpacaran. Ada beberapa santri melakukan kegiatan membolos atau mbedal hanya untuk bertemu atau jalan-jalan dengan pacarnya baik masih sama-sama satu pondok maupun dengan yang bukan anak pondok. Perilaku tersebut sudah termasuk kedalam pelanggaran aturan yang sangat berat di pondok pesantren. Tidak sedikit juga yang ketahuan baik oleh mata-mata dari pengasuh maupun dari pengurus pondok sendiri.
Seperti yang terjadi di Ponpes Islam Al Iman Muntilan, santri-santri yang ketahuan berpacaran kemudian di berikan nasehat dengan jangan untuk melakukannya lagi dan juga akan di berikan beberapa hukuman. Akan tetapi, tidak sedikit pula santriwan-santri wati yang sudah ketahuan dan di berikan hukuman kemudian malah melakukannya lagi. Ketika sudah terjadi beberapa kali dan kemudian ketahuan lagi oleh pengasuh maupun oleh pengurus makan santriwan-santriwati tersebut akan di berikan hukuman yang berat bahkan bisa di keluarkan dari pondok pesantren.
B. Strategi Kyai Dalam Menyelesaikan Konflik Di Pondok Pesantren Islam Al Iman.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang bernafaskan Islam, tentu saja kyai sebagai pemimpinnya tidak akan meninggalkan kaidah-kaidah keislaman dalam menjawab berbagai aspek masalah termasuk di dalam penyelesaian konflik Tahabub(Pacaran). Oleh karena itu penyelesaian konflik Tahabub(Pacaran) yang dilakukan kyai pun tidak akan bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Ada banyak strategi yang diberikan Al-Qur’an untuk menyelesaikan konflik Tahabub (Pacaran). Akan tetapi penulis mengamati ada lima strategi yang sering digunakan dalam penyelesaian konflik oleh kyai dan civitas di Pesantren. Lima strategi tersebut adalah al-tabayun (klarifikasi), al-syura (musyawarah), tahkim (upaya mediasi), alishlah (berdamai), dan sikap al-‘afwu (saling memafkan).
Pertama, melakukan al-tabayun (klarifikasi atas kesalahan yang diperbuat santriwan atau santriwati). Dalam hal ini al-tabayun dijadikan sebagai upaya mencari kejelasan dan klarifikasi atas sebuah informasi yang ada, terlebih informasi yang masih simpang-siur kejelasannya, yang dapat menimbulkan fitnah dan konflik. Spirit al-tabayun dikatakan dalam al-Quran untuk menguji kebenaran informasi dari seorang fasiq[4]. Hal ini tertuang dalam Q.S. al-Hujurat: 6.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Q.S. al-Hujurat: 6)[5]
Kedua, melakukan tahkim (upaya mediasi terhadap masalah yang dilakukan). Dalam hal ini upaya tahkim dilakukan sebagai salah satu cara mendamaikan dua belah pihak yang tengah berkonflik dengan mendatangkan mediator sebagai juru damai, sebagaimana dikatakan dalam Q.S. al-Nisa’: 35,
وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَاۚ اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam33 dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. An-Nisa: 35)[6]
Ayat tersebut merupakan salah satu contoh cara menyelesaikan suatu perselisihan salasatunya yaitu kasus pacaran yang terjadi di Pondok Pesantren Islam Al Iman ini. Yakni dengan mendatangkan hakam yang diberi tugas untuk mengetahui persoalan perselisishan yang terjadi dan sebab-sebabnya. Kemudian berusaha mendamaikan keduanya.[7] Namun sebagai catatan bahwa seorang mediator harus ‘berdiri di tengah’. Artinya, tanpa memihak dan bersimpati kepada salah satu pihak yang tengah berkonflik.
Ketiga, melakukan al-syura (musyawarah). Upaya ini ditempuh guna memecahkan persoalan dengan mengambil keputusan bersama. sebuah konflik terlebih lagi jika konflik yang dihadapi tersebut bersifat kompleks, Kyai dan civitas pesantren yang menjunjung tinggi nilai ukhuwah al-Islamiyyah akan membawa konflik ke dalam suatu musyawarah untuk mencari pemecahan yang tepat, dimana di dalamnya terdapat negosiasi negosiasi untuk menghasilkan kesepakatan-kesepakatan dan menuntut mereka yang terlibat konflik pacaran untuk rela kehilangan sesuatu demi memperoleh penyelesaian yang paling bijak. Pentingnya musyawarah dalam mencari solusi pemecahan konflik ditegaskan dalam Q.S. Asy-Syura: 38.
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”. (Q.S. Asy-syura: 38)
Keempat, sikap al-‘afwu (saling memafkan). Setelah terjadinya musyawarah santriwan atau santriwati diharapkan untuk tidak saling menyalahkan satu sama lain, maka masing-masing pihak cenderung mempertahankan ego sektoral mereka, sehingga al-‘afwu merupakan indikator awal lahirnya kebaikan dan ketakwaan seseorang, yang mampu menciptakan kondisi perdamaian dalam kehidupan manusia. Seperti yang tercantum dalam Q.S. al-Baqarah: 237:
وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلَّآ اَنْ يَّعْفُوْنَ اَوْ ييَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِۗ وَاَنْ تَعْفُوْٓا اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۗ وَلَا تَنْسَووُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْررٌ
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah38, dan pema’afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Baqarah : 237)
Kelima, setelah upaya saling memaafkan, maka tekad untuk berdamai (alishlah ) pun menjadi sebuah keharusan guna mencapai penyelesaian konflik yang paripurna. Ishlah ini merupakan proses penyelesaian konflik yang berupaya memulihkan pihak-pihak yang bertikai melaui upaya kerja sama antara pihak yang terkena kasus pacaran dengan pihak civitas pesantren.
Itulah beberapa strategi yang sering diaplikasikan oleh pengasuh pondok pesantren islam Al Iman Muntilan dalam mengelola konflik Tahabub (Kasus Pacaran) dalam komunitas pesantrennya. Strategi yang telah dipaparkan di atas juga tidak menutup kemungkinan untuk dapat menjadi solusi ketika menghadapi konflik di dalam sebuah lembaga lainnya. Dengan lima strategi tersebut diharapkan dapat menjadi solusi agar konflik yang dihadapi tidak bersifat merusak atau menghambat produktivitas akan tetapi justru menjadi sebuah dorongan menuju perubahan yang lebih baik.
- Tahapan Penyelesaian (Solusi)
Seseorang yang mempelajari tentang nilai-nilai hidup seperti moral dan juga berhasil memiliki sikap dan tingkah laku berarti seseorang tersebut hidup di lingkungan yang positif, jujur dan mendukung dalam pembetukan tingkah laku, sikap mupun akhlak. Pada kesempatan ini, yang perlu diperhatikan adalah lingkungan sosial terdekat yang berfungsi sebagai pendidik dan pembinaan seperti orang tua dan guru. Dengan menciptakan lingkungan yang baik, dan juga dapat mencegah terjadinya perilaku berpacaran.
Adapun solusi kyai dalam mengatasi terjadinya perilaku berpacaran dapat dilakukan anta lain, sebagai berikut:
- Memberikan peringatan kepada siswa
Dalam hal ini, bentuk peringatan yang diberikan kepada siswa yang berpacaran ada dia macam yaitu peringatan tertulis dan peringatan lisan. Peringatan tertulis ini berisi tentang indormasi tentang terjadinya suatu pelanggaran dan sanksi yang akan diperoleh. Sedangkan peringatan lisan yaitu berisi tentang kata-kata, hal ini merupakan yang paling umum dilakukan oleh guru. Bentuk peringatan ini juga lebih efektif bila dilakukan dengan kontak mata antara guru dan santri.
- Memberikan Bimbingan Secara Individu
Upaya ini digunakan untuk membuat santri dalam memahami permasalahannya, sehingga santri bisa berkembang kearah yang lebih baik dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bimbingan perorangan yang diberikan oleh guru dilakukan secara kondisional. Layanan yang diberikan kepada santri sesuai dengan masalah yang dihadapi oleh santri tersebut. Jika memang diperlukan, guru juga akan melakukan kunjungan ke rumah santri untuk melakukan komunikasi lebih lanjut dengan orang tuanya mengenai masalah yang terjadi di sekolah. Kunjungan rumah juga menciptakan komunikasi yang baik antara guru dengan wali santri.[8]
- Memberikan Hukuman Yang Sifatnya Mendidik Kepada Santri
Memberikan hukuman merupakan metode terburuk, tetapi dalam kondisi tertentu harus digunakan. Hukuman digunakan apabila upaya atau metode lain tidak berhasil guna untuk memperbaiki peserta didik. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pendidik dalam menggunakan hukuman. Tujuan dari hukuman tersebut adalah untuk memperbaiki santri yang melakukan kesalahan, bukan untuk balas dendam dan hukuman yang diberikan kepada santri harus sesuai dengan kesalahan yang diperbuat.
- Pemanggilan Wali Santri
Pemanggilan Wali Santri dilakukan dengan berbagai pertimbangan antara Pengasuh, guru, dan pengurus. Karena pengasuh dan lainnya harus memperhatikan kondisi dan kesiapan dari wali santri. Terkadang kondisi owali santri tidak stabil. Ketika pengasuh/guru menceritakan permasalahan yang sedang terjadi bisa saja respon dari wali santri berlebihan dan bisa saja respon dari orang tua tidak ada. Permintaan dari santri kepada pengasuh/guru juga tidak melibatkan orang tua sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Namun ketika permasalahan sudah tidak bisa diselesaikan oleh pengasuh dikarenakan sulitnya santri diajak berdiskusi, maka wali santri akan dilibatkan pada saat itulah semua keputusan berada ditangan wali santri
KESIMPULAN
Kesimpulan pada konflik Pacaran di kalangan santri pondok pesantren dianggap sebagai perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Islam mengenal konsep ta’aruf dan khitbah sebagai alternatif pacaran. Meskipun ada aturan yang melarang, beberapa santri masih melakukan pacaran secara sembunyi-sembunyi, yang dapat mengakibatkan hukuman bahkan dikeluarkan dari pondok pesantren. Kyai dan pengurus pondok pesantren memiliki beberapa strategi dalam menyelesaikan konflik terkait pacaran di kalangan santri, antara lain: Al-tabayun (klarifikasi).Tahkim (mediasi), Al-syura (musyawarah), Al-‘afwu (saling memaafkan), Al-ishlah (berdamai). Tahapan penyelesaian atau solusi yang diterapkan meliputi: Memberikan peringatan kepada santri, memberikan bimbingan secara individu, memberikan hukuman yang bersifat mendidik, pemanggilan wali santri jika diperlukan.
Tujuan dari penerapan strategi dan solusi ini adalah untuk mencegah perilaku pacaran, memperbaiki perilaku santri, dan menciptakan lingkungan positif yang mendukung pembentukan akhlak yang baik di pondok pesantren.
DAFTAR PUSTAKA
Aly, Heru Noer, (1999), Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Logos.
Kementerian Agama RI. 2010. Al-Qur’an Dan Tafsirnya. Jilid 2. Jakarta: Kementerian Agama RI.
Kementerian Agama RI. 2010. Al-Qur’an Dan Tafsirnya. Jilid 9. Jakarta: Kementerian Agama RI.
Kementerian Agama RI. 2011. Al-Qur’an Dan Terjemahannya. Bandung: SYGMA Publishing.
Munasirah, Siti Chaizatul, (2018), Strategi Penanganan Konflik Oleh Kyai di Pondok Pesantren, Jurnal An-Nidzam,
Yulika Apni, Setiawana Kiki Cahaya, (2017), Kematangan Beragama Dengan Perilaku Pacaran Pada Santri MA di Pondok Pesantren Modern Al-Furqon Prabumulih, Jurnal Psikologi Islami.
[1] Apni Yulika dan Kiki Cahaya Setiawana, Kematangan Beragama Dengan Perilaku Pacaran Pada Santri MA di Pondok Pesantren Modern Al-Furqon Prabumulih, Jurnal Psikologi Islami, Vol. 3, No. 1 (2017), hlm. 61.
[2] Siti Chaizatul Munasiroh, Strategi Penanganan Konflik Oleh Kyai di Pondok Pesantren, Jurnal An-Nidzam, Vol. 5, No. 2, Juli Desember 2018, hlm. 2-3.
[3] Ibid, hlm. 61-62.
[4] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010) , Jld. 9, hlm. 403
[5] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya Q.S. al-Hujarat (49) ayat 6, (Bandung: SYGMA Publishing, 2011) , hlm. 516
[6] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya Q.S. an-Nisa’ (4) ayat 35, (Bandung: SYGMA Publishing, 2011) , hlm. 84
[7] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010) , Jld. 2, hlm. 163
[8] Heru Noer Aly. 1999. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Logos